Jeneponto – Pada zaman penjajahan Belanda, sebuah kampung terletak di ujung selatan yang dihuni oleh masyarakat Bugis. Pada saat itu, seorang tokoh dari tanah Bugis datang ke kampung ini melalui jalur laut dan menjadi penyebar agama Islam pertama di daerah tersebut. Kehadirannya di kampung itu memicu reaksi negatif dari pihak Belanda.
Namun, tokoh ini memiliki kesaktian yang membuatnya sulit ditangkap oleh Belanda. Karena kesulitan ini, Belanda mencoba membuat rencana untuk menghilangkan tokoh tersebut. Mereka mengumpulkan penduduk kampung dan menawarkan hadiah kepada siapa saja yang bisa menangkapnya. Penduduk kampung mulai mencari tokoh tersebut dari pagi hingga malam, menyisir kampung yang dikelilingi oleh sungai.
Akhirnya, mereka berhasil menangkap tokoh tersebut. Tokoh itu diikat dan diserahkan kepada pihak Belanda. Namun, ketika Belanda mencoba menggunakan besi untuk menghukumnya, mereka gagal. Maka, mereka mengambil tindakan ekstrem dengan menggali lubang dekat sungai dan memasang sebuah bambu runcing di dasarnya. Tokoh tersebut, dengan mata tertutup, dipaksa berjalan menuju lubang tersebut. Sebelum didorong ke dalam lubang, tokoh tersebut memberikan pesan terakhir, “Sampaikan kepada keluargaku bahwa jika ada yang mencari ku, biarkan aku tinggal (monro-monro) di kampung ini.”
Dalam sekejap, tokoh tersebut didorong ke dalam lubang dan meninggal. Ini adalah saat pertama kali dia dinamai Massakida, yang berarti “dibunuh oleh massa dalam waktu sekejap.” Sejak saat itu, kampung tersebut diberi nama Monro-Monro. Inilah awal mula kelahiran Jeneponto, di mana kampung ini dikelilingi oleh air, yang dalam bahasa Makassar disebut “Jeneponto,” yang berarti “air gelang.”
Demikianlah kisah asal usul Kampung Monro-Monro yang menjadi bagian sejarah daerah Jeneponto.
Leave a Reply